Sabtu, 12 Februari 2011
Sentra Kerajinan Pucang Jateng Tak Tergoyah Produk Asing
Bau menyengat dari pembakaran tanduk dan debu hasil amplasan kayu hingga saat ini masih menjadi kehidupan sehari-hari di sentra kerajinan tanduk dan kayu di Desa Pucang, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kondisi tersebut menandakan masih ada aktivitas para perajin untuk memenuhi permintaan konsumen.
Hasil kerajinan dari daerah tersebut hingga sekarang masih banyak diminati konsumen lokal, nasional maupun luar negeri.
Tangan-tangan terampil warga Pucang tersebut mampu mengubah tanduk kerbau dan sapi maupun beberapa jenis kayu menjadi perkakas rumah tangga dan pernik-pernik aksesoris yang indah dengan sentuhan seni.
Kerajinan tanduk dari daerah itu antara lain entong nasi, mangkok, “cepuk” (tempat perhiasan), sisir, pipa rokok, sendok, dan garpu makan berukir, sedangkan dari bahan kayu menghasilkan produk berupa “solet”, entong, irus, tongkat, dan sisir kutu.
Hasil kerajinan warga Pucang yang terletak sekitar 8-10 km arah timur dari pertigaan Secang di Jalan Semarang-Yogyakarta ini tidak kalah dengan hasil industri modern dari bahan plastik yang kini membanjiri Tanah Air.
Usaha kerajinan tanduk berlangsung turun-temurun di Desa Pucang dan sejak 1960-an desa ini telah terkenal menjadi sentra kerajinan tanduk, sedangkan sentra kerajinan kayu mulai dirintis tahun 1990-an karena semakin langkanya bahan baku tanduk.
Seorang warga yang mempunyai usaha kerajinan tanduk dan kayu, Muhammad Imron di Dusun Karang Kulon, Desa Pucang mengatakan hasil produksinya dikirim ke Yogyakarta, Jakarta, Bali, Bandung, dan Surabaya.
Menurut dia, melalui pedagang perantara di beberapa kota tersebut, hasil kerajinannya terutama dari bahan tanduk diekspor ke sejumlah negara di Eropa.
Ia mengatakan, untuk produk kerajinan kayu berupa sisir kutu dari bahan kayu sawo dalam beberapa tahun terakhir permintaannya cenderung ramai, bahkan dalam sebulan mencapai 6.000 hingga 7.000 kodi.
“Sisir kutu dengan harga Rp1.000 per biji, permintaan untuk satu desa bisa mencapai 15 ribu kodi per bulan,” katanya.
Ia mengaku tidak khawatir dengan membanjirnya produk plastik dari China. “Kami berani bersaing dengan produk plastik dari China karena harga juga bersaing,” katanya.
Perajin lain Muh Kojib mengatakan, untuk produk kerajinan kayu tidak terpengaruh dengan produk plastik.
Hingga sekarang setiap pekan tidak kurang 1.000 kodi entong kayu dari desa ini dikirim ke sejumlah kota.
“Setiap pekan kami ada permintaan entong 250 kodi, belum ditambah dari perajin yang lain sehingga jumlahnya bisa mencapai 1.000 kodi lebih,” katanya.
Ia mengatakan, kerajinan dari bahan kayu sono keling dan puspo tersebut bisa dijual murah Rp14 ribu per kodi karena diproduksi secara besar-besaran. “Kalau tidak murah kita akan tersaing dari produk China,” katanya.
Sementara itu, harga produk kerajinan yang lain, jam dinding dari kayu Rp40 ribu per buah, tongkat kayu Rp15 ribu per buah, garuk punggung Rp3.000 per biji, hiasan naga dari tanduk Rp125 ribu per buah, mangkok tanduk Rp17 ribu per buah, tusuk konde Rp5.000 per biji, dan sisir Rp5.500-Rp7.500 per buah.
Modal dan Bahan Baku
Para perajin menyatakan bahwa hingga sekarang belum pernah mendapat bantuan modal dari pemerintah baik dana bergulir maupun hibah, selain itu mereka mengeluh kesulitan mendapat bahan baku tanduk yang semakin langka.
Muh Kojib mengatakan, untuk pemasaran dan bahan baku kayu tidak ada masalah karena telah mempunyai jaringan dan kayu mudah didapat di sekitar Magelang, namun untuk bahan baku tanduk kini semakin sulit.
“Dahulu mudah mendapatkan tanduk dari Jakarta, di sana banyak tempat penyembelihan sapi, namun sekarang sulit memperolehnya mungkin karena bukan sapi lokal bertanduk yang disembelih,” katanya.
Hal senada diungkapkan M Imron, untuk mendapatkan tanduk di Jakarta semakin sulit, kalau dahulu mendapatkan 1,5 hingga 2,5 ton tanduk sebulan bisa dengan mudah, sekarang mendapat delapan kuintal saja sudah untung.
Menurut dia, karena susah mencari tanduk di Jakarta, kini harus mencari ke luar Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.
“Di luar Jawa masih banyak bahan baku tanduk, tetapi karena transportasi jauh maka harganya menjadi mahal,” katanya.
Ia mengatakan, para perajin sebenarnya ingin sekali mendapatkan bantuan modal dengan bunga ringan dari pemerintah, namun selama ini belum pernah mendapatkannya.
“Memang pernah ada tawaran dari Dinas Perindustrian, namun jumlahnya relatif kecil maksimal hanya Rp5 juta, padahal kami butuh sekitar Rp30 juta untuk mengembangkan usaha,” kata pengusaha yang omzet penjualannya mencapai Rp30juta hingga Rp40 juta per bulan ini.
Selama ini, katanya, untuk mendapatkan tambahan modal mengandalkan pinjaman kredit dari bank swasta yang persyaratannya lebih mudah meskipun dengan bunga lebih tinggi.
Muh Kojib, mengatakan sekitar 15 tahun lalu pernah didirikan koperasi perajin Pucang, namun berhenti di tengah jalan.
“Sebenarnya koperasi yang direncanakan untuk menyediakan bahan baku dan menjual hasil kerajinan itu sudah mempunyai kantor di kompleks Pasar Pucang, namun koperasi ini tidak jalan,” katanya.
Berbeda dengan Imron, Kojib mengelola usaha kerajinannya dengan modal tekun dan belum pernah meminjam modal ke bank karena merasa persyaratannya terlalu berat.
“Selama ini kami mengembangkan usaha hanya dari uang tabungan saja, belum pernah meminjam modal dari perbankan,” katanya.
Ia mengaku pernah mendapat tawaran dari BKK Secang Rp10 juta, namun karena bunganya sama dengan perbankan dia tidak mengambilnya.
Kojib berharap pemerintah memperhatikan para perajin dengan memberikan bantuan modal, karena sentra kerajinan Pucang ini menyedot tenaga kerja tidak sedikit, termasuk dari luar daerah.
sumber : redaksi (fb/FB/ant-Heru Suyitno) / http://focusindosukses.com/2010/03/sentra-kerajinan-pucang-jateng-tak-tergoyah-produk-asing/
www.sentrakukm.com
gambar ilustrasi : http://vibizlife.com/detail/tren_belanja/karya-seni-kerajinan-tanduk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar