Selasa, 24 Juli 2012

Saat Ramadhan, Peci Moethalib Laku 1.000 Biji


PECI merupakan kelengkapan ibadah yang belakangan menjadi bagian dari fesyen muslim. Bagi para pengusaha peci, hadirnya Ramadan membawa berkah tersendiri setiap tahunnya. Seperti yang dirasakan pengusaha peci di Kota Cirebon, Arfinaldi Hadi yang mengaku permintaan peci merek H. S Rohani A. Moethalib miliknya bertambah dua kali lipat.

Di luar Ramadan, penjualannya sekitar 400-500 peci, sedangkan pada saat Ramadan meningkat hingga 1.000 peci. "Peci merupakan bagian tak terpisahkan bagi kebanyakan umat Islam, terutama pada saat Ramadan menjadi bulan yang penuh berkah bagi para pengusaha peci," katanya.

Untuk pasar Cirebon, peci merek H.S.R.A. Moethalib sudah sangat ternama, karena kekhususan bahan, pembuatan dan cara penjualannya. Arfinaldi adalah generasi ketiga yang mewarisi usaha peci dari almarhum Haji Moethalib, pengusaha asal Padang yang mendirikan usaha peci di Jalan Pasuketan No.52/80 Kota Cirebon sekitar tahun 1939.

"Para pembeli ada yang telah berlangganan sejak tahun 80-an dan bagi sebagian para pelanggan fanatis, mayoritas mengganti peci pada saat memasuki Ramadan dan Idulfitri," tuturnya.

Peci produksinya menggunakan bahan dasar kain murni tanpa memakai kertas, sehingga ringan, elastis (bisa dilipat), dan lebih nyaman saat dipakai. Tak heran kebanyakan pengguna menjadi pelanggan yang loyal memilih peci Moethalib ini.

Arfinaldi mempekerjakan 5 karyawan untuk mendesain dan memproduksi peci dengan dua kualitas. Kualitas terbaik berbahab kain bludru yang diekspor dari Amerika Serikat, sedangkan peci kualitas II terbuat dari kain bludru yang didatangkan dari Korea.

Ukuran peci memakai skala 0-12, ukuran 0 berarti peci berdiameter 50 sentimeter, dan tinggi 7 sentimeter. Namun, harga dibedakan berdasarkan tingginya, untuk peci kualitas I dengan tinggi 7 sentimeter dibanderol Rp60.000, sedangkan peci kualitas II ukuran 7 sentimeter dibanderol Rp40.000.

Harga ditentukan kualitas dan ukurannya dengan perbedaan Rp5.000, hingga ukuran terbesar 12 sentimeter dijual Rp85.000. "Bagi mereka yang mementingkan harga, memang menganggap terlalu mahal, karena harga peci dengan bahan dasar kertas dijual Rp15.000. Namun bagi pelanggan fanatik yang lebih mementingkan kenyamanan itu tidak masalah. Kami juga hanya menjualnya di tempat ini [Jalan Pasuketan Kota Cirebon]."

Untuk mengikat pelanggan. desain dan motif peci terus dikembangkan. Kreasi hiasan semakin bervariasi, mulai dari bludru warna-warni, bordiran hingga peci berbahan kain batik mega mendung khas Cirebon pun sengaja dibuat untuk memperindah peci.

Selain untuk perlengkapan ibadah, sejak 5 tahun terakhir dikembangkan juga peci untuk pelengkap pengantin dengan menggandeng sejumlah pengusaha tata rias. "Agar peci yang diproduksi motif dan bahannya sama dengan pakaian pengantin, kami menggandeng pengusaha rias. Cara itu membantu meningkatkan penjualan peci di luar Ramadan."

Peci Moethalib ini memiliki ciri khas pada jahitannya sehingga lebih nyaman digunakan baik untuk ibadah maupun resepsi formal. Arfinaldi juga memilih penjualan terpusat untuk menghindari pemalsuan. Pada 1985 peci Moethalib banyak dipalsukan, sehingga banyak komplain yang membuat penjualan menurun. Penjualan peci merek Moethalib hanya di outlet di Jalan Pasuketan, Cirebon yang sejak awal berdiri hingga kini toko ini tetap berukuran 1,5 m x 15 m.

"Outlet tunggal ini efektif memelihara loyalitas konsumen, dan semakin bertambah mencakup Cirebon, Majalengka, Kuningan dan Indramayu serta pesanan dari luar kota terus berdatangan."

Selain peci, pengusaha kain sarung juga menjadi bisnis kebanjiran pesanan. Seperti penjualan sarung di industri sarung Majalaya, Kabupaten Bandung meningkat dua kali lipat memasuki Ramadan ini. Ketua Koperasi Pertekstilan dan Produk Tekstil (Koperintek) Kabupaten Bandung Dedi Zaenal mengatakan peningkatan ini sudah menjadi rutinitas setiap tahunnya. "Sekarang ini pemesanan mencapai ribuan kodi sarung. Kebanyakan pemesan berasal dari Timur Tengah," kata Dedi.

Ekspor sarung asal Majalaya ini memang tidak langsung oleh pengusaha lokal, melainkan melalui pengusaha besar yang ada di Surabaya dan Jakarta. masalah dokumen kelengkapan persyaratan ekspor menjadi kendala pengusaha lokal untuk ekspor langsung.

Namun demikian, sarung Majalaya memiliki keunggulan motif dan corak khas yang dihasilkan dari metode produksi dobi (16 angkatan benang). Corak ini yang membedakan produk sarung Majalaya dengan daerah lain seperti Pekalongan dan Surabaya. "Sedikit sekali jumlah pengusaha yang ekspor langsung. Perlu ada komitmen pemerintah dan Kadin untuk membantu para pengusaha memfasilitasi dokumen," ujarnya.

Kendala lainnya, perajin sarung masih bergantung bahan baku impor seperti filamen, TE dan katun yang 50% dari China. Meskipun pesanan barang selama Ramadan meningkat, namun jumlah produksinya tetap. Hal itu karena proses produksi mengandalkan mesin yang ada.

Untuk mengantisipasi tingginya permintaan, pihaknya mengandalkan stok barang. "Tapi, tidak sedikit perajin membanting harga jual dari normal Rp360.000 menjadi Rp340.000 per kodi. Sedangkan sarung berkualitas tinggi dijual Rp800.000 turun menjadi Rp780.000 perkodi."
(k3/k6/k55/Bsi)

Sumber : Bisnis

1 komentar:

  1. salam sukses gan, bagi2 motivasi .,
    Pikiran yang positiv dan tindakan yang positiv akan membawamu pada hasil yang positiv.,.
    ditunggu kunjungan baliknya gan .,.

    BalasHapus